Waktu memang bersifat relatif dan tiada akhir. Filsuf awal abad pertengahan Eropa, Agustinus, menyebutnya sebagai waktu subyektif dan waktu obyektif. Waktu subyektif dapat dirasakan dalam batin, bersifat relatif. Waktu obyektif adalah waktu yang tertera di jam dan kalender, yang bersifat pasti.
Waktu juga tidak akan pernah berakhir. Ada yang menganalogikannya sebagai garis lurus tiada akhir. Ada juga yang meyakininya sebagai garis melingkar, yang juga tidak akan berakhir. Akan tetapi, ketika waktu dihadapkan dengan kehidupan, muncul batas. Kehidupan membatasi kita menggunakan waktu. Selanjutnya adalah apakah waktu digunakan sebaik-baiknya atau secara sembarang.
Satu tahun bisa dirasa pendek, bisa juga dirasa panjang. Tahun 2023 bisa dimaknai hanya satu masa waktu yang telah dilewati, atau bisa juga dimaknai telah melewati banyak waktu. Bisa diartikan 12 bulan telah dilalui, 52 minggu telah dijalani, atau 365 hari telah ditempuh.
Satu tahun bahkan setara 8.760 jam; 525,6 ribu menit, atau 31,536 juta detik. Jika manusia dewasa normal bernapas 20 kali per menit, berarti dalam setahun kita telah bernapas 10,512 juta kali. Sesungguhnya, sudah berjuta hal telah kita lakukan.
Tahun 2023 yang penuh dengan tantangan telah kita lewati. Puji syukur dipanjatkan. Namun, tantangan tidak ringan juga terus menghadang di depan. Tidak banyak waktu yang tersisa, tetapi banyak hal yang masih bisa dilakukan di waktu yang tersedia oleh kita di berbagai lini.
Bencana hidrometeorologis akibat perubahan iklim semakin menghadang. Konflik dan peperangan pun memengaruhi geopolitik maupun geoekonomi. Ketidakpastian ekonomi global masih menghantui. Tantangan di dalam negeri pun tidak sedikit. Potensi instabilitas ekonomi politik di tahun pemilu maupun pilkada serentak ada di depan mata. Sementara itu, korupsi kebijakan masih merajalela yang menyebabkan kesenjangan pendidikan dan kesejahteraan belum juga teratasi meskipun sudah merdeka lebih dari setengah abad.
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi harapan baru. Namun, meningkatnya kesadaran diri penghuni Bumi adalah yang terutama. Mengatasi keserakahan diri, mengatasi rasa iri benci pada sesama, mencegah dan mendamaikan konflik dan peperangan, maupun berbuat maksimal untuk menjaga negeri dan Bumi menjadi teramat penting.
Dalam setiap tarikan napas itulah, kita bisa melakukan hal-hal bernilai bagi kehidupan. Berapa banyak lagi kita akan bernapas selama hidup, tinggal kalikan saja dengan usia harapan hidup tersisa. Itulah waktu tersisa bagi kita untuk melakukan banyak hal bernilai setahun ke depan ataupun tahun-tahun berikutnya hingga batas waktu tiba.
Mawas diri membantu sesama dengan berempati, menjaga negeri, serta menjaga Bumi perlu menjadi tekad kita semua agar tahun 2024 menjadi lebih baik.
Dikutip Dari https://www.kompas.id/baca/opini/2024/01/01/2024-berharap-lebih-baik Editor ADI PRINANTYO